Senin, 17 Januari 2011

Bohong Itu Asyik,...

Masih ingat baru-baru ini, pemerintah melalui Menko Kesra, Hatta Radjasa dan Menko Polhukam, Djoko Suyanto, membantah tudingan berbagai pihak yang menyatakan bahwa pemerintah melakukan "kebohongan publik" (public lies). Polemik berawal saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam rapat kerja dengan para gubernur dan bupati di Jakarta Convention Center (10/1), mengungkapkan optimisme Indonesia dalam menyongsong pembangunan tahun 2011.

Ada empat argumen optimistik yang dikemukakan Presiden:

(1) saat ini Indonesia memiliki momentum pertumbuhan (ekonomi) yang baik;
(2) Indonesia saat ini memiliki potensi yang besar untuk tampil menjadi negara maju;
(3) ketika dunia mengalami krisis pada 2008 dan 2009, Indonesia berhasil mengatasinya; dan
(4) kepercayaan (internasional) kepada Indonesia untuk mengatasi berbagai permasalahan, hambatan dan tantangan (Suara Pembaruan, 10/1).


Krusialnya, di hari yang sama, pemerintah justru diguyuri gugatan, kritik, dan kecaman yang datang dari tokoh politik, tokoh agama, cendekiawan, dan para aktivis muda. Simak pidato politik Megawati Soekarnoputri pada HUT PDIP ke-38 di Lenteng Agung yang menyebut kegagalan negara (baca: pemerintahan SBY) dalam meletakkan fondasi dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial (Kompas, 10/1).

Menurut mantan Presiden RI ke-5 itu, kebijakan pemerintah makin menjauh dari rakyat. Ini dapat dilihat dari kasus pengeluaran APBN yang lebih boros untuk belanja aparatur daripada belanja publik, ketergantungan APBN pada utang luar negeri, pencabutan subsidi atas barang publik, ketiadaan stabilitas harga (yang membuat daya beli rakyat kian terpuruk), hingga kesan "pembiaran" negara atas kasus-kasus Gayus dan mafia pajak.

Pada hari yang sama pula, sejumlah tokoh agama dan para aktivis juga menggugat janji pemerintah SBY yang hingga kini tak jelas juntrungannya, seperti kebijakan pemerintah atas soal pluralisme dan toleransi beragama; kebebasan pers; perlindungan terhadap TKI dan pekerja migran; transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, pemberantasan korupsi; pengusutan rekening "gendut" perwira polisi; politik yang bersih, santun, dan beretika; mafia hukum dan mafia peradilan; dan isu kedaulatan NKRI (Kompas, 10/1).


Public Lies dan Politik Lupa

Negeri ini memiliki genre sosial-politik penuh kebohongan dan mudah lupa: membiarkan sejumlah "perkara besar" menjadi "misteri". Ada begitu banyak skandal politik, ekonomi, dan hukum yang mengemuka, menimbulkan kegaduhan nasional, namun kerap berakhir tanpa kejelasan. Begitu tujuan politik tercapai, proses untuk mengungkap skandal pun berakhir.

Lihat kasus hukum mantan Presiden Soeharto yang hingga kini berhenti; kasus "Buloggate" dan "Bruneigate" yang telah memaksa Presiden Abdurrahman Wahid lengser dari jabatannya; kasus mega skandal Bank Century yang melibatkan Sri Mulyani dan Boediono; atau kasus rekening "gendut" perwira Polri. Semua skandal itu, (maaf) bak "kentut", menguap ditelan angin, tapi menyisakan bau tak sedap sampai hari ini.

Simak data BPS yang menyebut tahun 2010 Indonesia akan surplus beras. Faktanya, di tahun 2010 kita memasok gila-gilaan untuk impor beras (dari Vietnam, India, dan Thailand) sebanyak 1,33 juta ton. Malah pajak masuk Rp 650 per kilogram yang harusnya dikenakan terpaksa "dihapus". Bisa dibayangkan berapa triliun rupiah uang negara yang "terbuang" percuma (Djoko Suud, detiknews.com, 13/01).

Tengok data lain tentang jumlah orang miskin. Data yang dikeluarkan BPS menunjukkan, jumlah "orang miskin" di negeri ini mengalami penurunan. Tapi fakta lain mengungkap, penyaluran "beras miskin" jumlahnya terus bertambah. Ini jelas membingungkan.

Tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat tidak berubah signifikan. Data Indef menunjukkan dalam lima tahun terakhir rasio Gini (rasio yang mengukur ketimpangan pendapatan penduduk secara menyeluruh) hanya turun 0,012, dari 0,343 pada 2005 menjadi 0,331 pada 2010 (Media Indonesia, 7/1).

Kegemaran membanggakan asumsi angka statistik gigantik pertumbuhan ekonomi masih mendominasi arah kebijakan ekonomi negeri ini. Di atas kertas, ekonomi memang tumbuh. Tapi, di alam nyata, pertumbuhan nyaris tidak sebangun dengan kesejahteraan. Itulah mengapa tiap awal tahun para pejabat rajin menebar harapan.

Data-data makro gigantik itu bak mantra yang meneror rasionalitas kita akan fakta masih centang-perenangnya kehidupan rakyat. Hanya dalam hitungan jam, sejak pemerintah merilis turunnya angka kemiskinan, di Jepara, Jawa Tengah, enam nyawa anak melayang setelah makan tiwul karena orang tua mereka tak sanggup membeli beras yang harganya terus membumbung.

Para pemimpin telah berbohong tentang keberadaan suatu skandal atau tentang komitmen mereka untuk mengungkap kebenaran skandal itu demi kepentingan publik. Kebohongan juga lazim terjadi pada janji-janji pemerintah menjelang pemilu: mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, memberantas korupsi, dan seterusnya.

Mengapa kebohongan publik terus terjadi? Karena bangsa ini telah sejak lama mengidap amnesia sejarah: mudah melupakan dan memaafkan, termasuk pada perkara yang tak layak dilupakan dan dimaafkan. Negeri ini punya persoalan serius dengan ingatan kolektif atas masa lalu. Masa lalu sering dianggap tak relevan untuk dipersoalkan, meski kebenaran belum terungkap dan pengungkapan kebenaran ini mutlak untuk memenuhi rasa keadilan publik.


Politik Citra dan Hegemoni Media

Wacana politik Indonesia memang paradoks. Ini akibat seluruh aktivitas politik negeri ini penuh sesak oleh "politik pencitraan" (the political of image). Dalam politik pencitraan, memoles jejek rekam masa lalu, me-make up gaya pidato, bahasa tubuh, hingga memermak hasil survei-agar terlihat bersih, memikat, dan punya nilai jual-telah menjadi menu harian.

Paradoks terjadi ketika wacana politik dimanipulasi untuk menciptakan "citra diri", sebagai cara menggiring persepsi dan preferensi politik masyarakat ke dalam "realitas semu". Kecenderungan politik semacam ini sudah menjadi bagian penting dari kerja mesin kekuasaan saat ini yang kian kehilangan hati nurani dan virtue.

John Burke (Bureaucratic Responsibility, 1986) menunjukkan, setiap pejabat publik wajib berkata jujur dan berpihak pada kebenaran. Dalam konteks demokrasi deliberatif, publik berhak mendapat informasi yang valid, sehingga partisipasi publik bisa bekerja efektif. Kebohongan publik hanya akan merusak demokrasi, karena institusi-institusi demokrasi tak lagi bisa dipercaya dan mendapat apresiasi publik.

Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom (2004) juga melukiskan, paradoks politik dan distorsi demokrasi bermula ketika wacana politik direduksi menjadi sekedar persoalan citra. Demokrasi menjadi ilusi, karena aktivitas demokrasi terkonsentrasi pada "permainan citra" dan "pengagungan individu" sambil mengabaikan realitas sosial.

Dalam konteks ini, demokrasi tak memiliki fondasi dan legitimasi kuat di dunia riil, karena figur politik hanya berkutat pada citra, bukan kompetensi, kemampuan, dan kapasitas. Tak ada contoh dedikasi yang dapat dijadikan acuan bahwa para penguasa di negeri ini memahami kehidupan konkret publik yang kian tak berdaya.

Sejak era Plato, politik kekuasaan hanya punya satu logika: bagaimana mempertahankan dan melestarikan kekuasaan; jika perlu dengan penggunaan kekerasan. Gagasan klasik tentang coercive-power ini terekam tegas dalam Il Principe (Sang Pangeran), buku klasik mahakarya Niccolo Machiavelli (1469-1527).

Kini, praktik dominasi kekuasaan tak lagi mengandalkan kekerasan fisik, namun melalui apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni. Menurut Gramsci, hegemoni adalah peran kepemimpinan intelektual dan moral untuk menciptakan ide-ide dominan melalui kontrol budaya (Robert Bacock, 2007).

Louis Althusser memperlihatkan perbedaan wacana aparatus negara dalam kaitannya dengan reproduksi kekuasaan (FX Widyatmoko, 2008). Pertama, repressive state apparatus yang bekerja melalui kekerasan fisik maupun non-fisik, seperti pemerintah, militer, polisi, lembaga peradilan; kedua, melalui ideological state apparatus, dimana modus kerjanya berlangsung dengan cara-cara yang bersifat ideologis-persuasif, seperti lembaga agama, pendidikan, media massa, partai politik, lembaga survei, dan seterusnya.

Merujuk Georg Simmel (1995), kelompok dominan akan terus berusaha meneguhkan superioritasnya dengan membatasi akses atas kebenaran, menciptakan sekat-sekat kerahasiaan, serta membangun wacana publik yang tak faktual. Dominasi atau superioritas diteguhkan secara diskursif, melalui media massa, dengan mengabaikan prinsip dasar etika komunikasi politik: faktualitas, kejujuran, kesetaraan, resiprositas.

Gaya politik pencitraan tak ubahnya seperti pemain sulap. Jika pesulap berkepentingan terhadap "pengaburan mata publik", maka politisi haus kuasa selalu berkepentingan terhadap "pembohongan publik" (the political of public lies). Dalam panggung politik citra, penyelenggaraan kekuasaan hanya meninggalkan cerita suram dan pedih.

Praktis, politik pencitraan telah menciptakan paradoks wacana politik, dimana komunikasi justru menjadi ajang manipulasi informasi daripada sarana untuk mengekspresikan dialog yang jujur sebagai instrumen penting dalam membangun etika politik dan moralitas publik. Padahal, demokrasi berbasis kejujuran tak bersandar pada citra, tetapi pada karya dan tindakan nyata. Komunikasi politik adalah sarana penyampaian pesan politik (yang jujur), bukan sarana penciptaan "kesadaran palsu" (false consciousness).

Demokrasi yang jujur adalah demokrasi yang dibangun di atas pondasi etika dan legitimasi moral yang kuat karena ia hidup di dalam ruang politik riil, bukan "politik virtual". Politik pencitraan adalah sebuah anomali wacana karena ia dapat menggandeng statistik kemiskinan yang terus menggelembung berbanding lurus-dengan angka pertumbuhan ekonomi yang terus membaik.

Di era high tech ini, dinamika sosial, ekonomi dan politik yang telah berubah secara radikal, mau tak mau juga menyusupi etika dan fatsoen demokrasi, terutama yang terkait dengan mekanisme reproduksi kekuasaan. Penguasaan atas simbol dan politik pencitraan telah menjadi modus baru dalam praktik "demokrasi simbolik" yang bekerja secara efektif. Karena itu, menurut Bourdieu, demokrasi simbolik tak lebih dari "kekerasan simbolik" yang beroperasi lewat prinsip simbolik, entah itu bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara berbicara, bahkan cara bertindak (Bourdieu, 2001) sehingga rakyat menjadi tidak peduli dengan segala tipu daya dan intimidasi oleh rejim politik yang menjalankan kekerasan simbolik. Rakyat akhirnya menjadi jinak (docile) dengan simpang siurnya demagogie (wacana politik untuk tujuan "mengobok-obok", memancing, serta mengeksploitasi hasrat dan perasaan massa), kebohongan, kemunafikan, manipulasi, dan provokasi.

Kekerasan simbolik itu selalu mengandaikan bahasa sebagai alat efektif untuk melakukan "dominasi terselubung" karena bahasa sebagai sistem simbolik tidak saja dipakai sebagai alat komunikasi, tapi juga berperan sebagai instrumen kekuasaan dengan memanfaatkan mekanisme kekerasan simbolik.

Bourdieu selalu mengajarkan kepada kita untuk selalu curiga terhadap bahasa, konsep, wacana, tanda, slogan, ataupun simbol lainnya yang diproduksi oleh kelas dominan. Lewat kekuasaan simbol pula lah dunia ini ditafsirkan, dinamakan, dan didefinisikan untuk menggiring kelas terdominasi pada pengakuan serta penerimaan terhadap pandangan dunia dari mereka yang mengendalikan kekuasaan dan para pemilik modal besar.

Politik pencitraan tak lebih dari "penyamaran" segala hasrat sesat politik agar tidak terdeteksi sebagai ekspresi kerakusan kekuasaan. Namun, cepat atau lambat, publik akan segera menangkap bahwa kebijakan negara yang tak pernah nyata berhubungan dengan kemaslahatan publik adalah sebuah janji "kosong" yang membiak dalam jagad politik citra.

Bohong itu memang indah!

Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama
dikutip langsung dari : kabarindonesia. com/