
Seiring berlalunya waktu dan kemajuan zaman saat ini Suku Karo yang di kenal luas hanya ada di daerah Kabupaten Karo saja. Sedangkan di daerah lainnya kehidupan orang Karo sudah mulai tergeser dan kehilangan jati diri. Mereka lebih identik dengan sebutan Batak, Melayu, Gayo, Alas, Singkel, Keluat, Simalungun dan Pakpak. Walau demikian masih ada sebahagian kecil dari mereka yang masih bisa mempertahankan jati diri sebagai Karo, dalam kehidupan sehari-hari. Sebut saja misalnya dalam tata cara peradatan pesta pernikahan (erdemu Bayu), Erceda Ate ( Kemalangan), Sumalin Jabu (Pesta adat Memasuki Rumah Baru), atau dalam berkomunikasi sehari-hari masih menggunakan bahasa daerah Karo.
Saat ini Suku Karo diperkirakan yang masih tertinggal di bumi hanya sekitar satu 1,8 juta jiwa yang tersebar di berbagai belahan dunia. Masyarakat Karo hidup dalam satu komunitas kecil yang disebut dengan jabu. Jabu ini terdiri dari satu rumah tangga. Pada awalnya atau zaman primitif, Jabu ini digelari dengan barung atau untuk daerah sepulu dua kuta disebut dengan Reba. Barung atau reba ini terdiri dari satu keluarga dengan sepetak lahan untuk bertani dan beternak yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Pemimpin disini disebut dengan pulu jabu atau kepala keluarga yang dijabat oleh pihak laki-laki.
Kemudian setelah beberapa saat akibat perkawinan dan sebagainya reba-reba itu berkembang menjadi satu kesain. Kesain ini biasanya dihuni oleh beberapa keluarga yang merupakan keturunan langsung dari orang pertama yang mendirikan reba disana. Nama kesain disesuaikan dengan namanya atau nama marganya. Pemimpin disini ditandai dengan pulu Kesain. Kesain-kesain ini akhirnya berkembang menjadi satu kampung yang disebut dengan kuta. Penghulu atau pemimpin kampung disebut dengan Raja Urung, atau pada zaman Belanda disebut dengan Perbapaan atau pulu Kuta pada saat ini. Kumpulan dari beberapa kampung ini yang kemudian membentuk satu kerajaan. Pemimpinnya disebut dengan Sibayak